Penerangan Jalan: Bukti Keseriusan Pejabat Publik Dalam Mencegah Terjadinya Kekerasan Seksual di Setiap Daerahnya



gambar hanya ilustrasi—ArchiExpo

Seringkali menemukan jalan yang minim bahkan enggan penerangan jalan merupakan fenomena yang tidak jarang lagi dijumpai. Sah-sah saja rasanya tidak perlu menyebut dimana saja keberadaannya. Sebab ini adalah catatan kecil yang dibuat untuk mengingatkan para pemangku kebijakan untuk lebih serius lagi memperhatikan hal kecil yang sangat fundamental ini.

Selain tak jarang dijumpai baik di daerah pedesaan yang bahkan tidak jauh dari jalan raya, ternyata di tengah kota pun masih ada yang bisa kita temukan. Seperti jalur pedestrian seberang Stasiun Sudirman dan Stasiun MRT BNI City yang beberapa waktu lalu didapati sebuah video viral mengalami pelecehan seksual oleh seorang pelaku yang tertangkap di CCTV. Kasus tersebut ialah satu dari sekian banyaknya rentetan kasus yang muncul di publik, belum lagi yang tidak terungkap.

Sangat dimungkinkan masih banyak pejalan kaki yang sangat membutuhkan penerangan tersebut untuk banyak kebutuhan, salah satu pentingnya ialah keamanan. Memberikan penerangan pada jalan umum merupakan kewajiban pejabat publik yang tertera dalam undang-undang untuk menjaga keamanan wilayahnya. Maka, penerangan jalan sangat berkaitan erat dengan langkah pencegahan tindak kekerasan seksual yang berpotensi terjadi.

Kiranya kita pun harus mengetahui bahwa Penerangan Jalan Umum (PJU) adalah infrastruktur lampu yang merupakan pelengkap jalan sehingga dapat digunakan untuk menerangi jalan di malam hari. Dengan adanya PJU ini, para pejalan kaki, pesepeda dan pengendara kendaraan merasa terbantu untuk dapat melihat lebih jelas jalan atau medan yang akan dilalui pada malam hari. Keselamatan berlalu lintas dapat ditingkatkan dan para pengguna jalan akan lebih aman dari kegiatan kriminal maupun pelecehan seksual.

Fungsi dasar dari Penerangan Jalan Umum (PJU) meliputi keamanan, yaitu berkaitan dengan kuat penerangan dan distribusi cahaya yang sesuai dengan bidang jalan dan kecepatan kendaraan yang melaluinya. Hal ini menunjukkan bahwa aspek keamanan sangat dijamin oleh negara sekalipun. Seharusnya kita tidak lagi melihat bahwa masih ada daerah yang minim akan penerangan jalan. Sebab selain itu keharusan yang pejabat publik berikan, juga bukti keseriusan dalam menghadapi rentetan kasus kekerasan maupun pelecehan seksual yang kian marak terjadi.

Sementara itu fungsi turunan dari penerangan jalan umum ialah menghasilkan kekontrasan antara objek dan permukaan jalan sebagai alat bantu navigasi pengguna jalan, memberikan rasa aman dan meningkatkan keselamatan para pengguna jalan. Jika dilansir dari CATAHU 2021 Komnas Perempuan, melalui data lembaga layanan, Komnas Perempuan menemukan bentuk dan jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas. Ranah komunitas biasanya adalah di lingkungan kerja, bermasyarakat, rukun tetangga, ataupun lembaga pendidikan serta sekolah. Pada ranah ini sangat memungkinkan bahwa salah satu dari kasus yang ada sangat lekat dengan keadaan lingkungan, seperti halnya menurut BPS tahun 2021 bahwa perempuan Indonesia paling banyak bekerja sebagai tenaga usaha penjualan. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan yang bekerja di ruang publik memiliki kerentanan untuk kembali ke rumahnya pada waktu-waktu yang rawan serta minim penerangan di daerahnya.

Tentu hal tersebut seharusnya menjadi bahan pertimbangan dan proses pembenahan serta evaluasi pejabat publik untuk terus meningkatkan kualitas pelayanannya dalam hal infrastruktur. Ini berkaitan erat dengan keselamatan dan keamanan setiap warganya. Langkah pencegahan dengan memberi penerangan jalan yang optimal merupakan angin segar yang bisa dinikmati setiap hari. Tanpa harus takut, tanpa harus diselimuti rasa khawatir, kegiatan apapun akan tetap berjalan dengan adanya penerangan jalan dengan rasa aman dan nyaman.

Pejabat publik yang memiliki sense of crisis serta berperspektif kemanusiaan tentu memperhatikan dan menjamin keselamatan masyarakatnya. Dari tulisan inilah diharapkan bisa menjadi titik awal sebuah refleksi dan mengembalikan ingatan bahwa penerangan jalan bukan sekedar kewajiban infrastruktur belaka atau menambah nilai estetika lingkungan, melainkan mendukung keamanan suatu daerah. Pejabat publik yang memperhatikan hal kecil yang fundamental adalah mereka yang benar-benar tulus melayani masyarakatnya, tidak hanya mengayomi namun seyogyanya menjadi rumah aman bagi masyarakatnya.

Sebab ruang aman tidak boleh sekali-kali kurang, apalagi krisis.

Memaknai Qurban Sebagai Bentuk Refleksi Diri


    Hari Raya Idul Adha atau yang kerap disebut Hari Raya Qurban dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah Tahun Hijriyah. selain memiliki hukum Sunnah Muakkad yakni sunnah yang ditekankan, dimaksud ialah setiap umat muslim dianjurkan untuk melaksanakan ibadah tersebut setiap tahunnya. hal ini termaktub dalam firmanNya, QS. Al Hajj : 34. dibalik hukumnya yang sunnah muakkad, qurban memiliki sejumlah manfaat yang sangat baik dan diganjar pahala kebaikannya. yakni, sebagai metode untuk medekatkan diri kepada Allah SWT. bila dilihat secara harfiah, Qurban berasal dari bahasa arab "Qariba" yang berarti "Dekat (Mendekatkan)". dimana seluruh umat muslim dianjurkan untuk selalu mendekatkan diri padaNya dengan cara melakukan perintahNya.

    Di samping sebagai metode untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Qurban merupakan peristiwa yang meneladani kisah Nabi Ibrahim a.s dengan anaknya, Nabi Ismail a.s . kita semua pasti seringkali mendengar bahwa kisah ini sangat patut diteladani sebab ada nilai keikhlasan yang terkandung di dalamnya. sebagaimana yang dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim a.s mengalami sebuah mimpi yang dialaminya berturut-turut untuk menyembelih anaknya. lalu, dengan segala kesediaan dan kerendahan hati Nabi Ismail a.s pun bersedia untuk diperlakukan seperti di mimpi sang ayah. walau pada akhirnya, sang anak berubah menjadi seekor domba besar. hal ini menunjukan bahwa Nabi Ibrahim a.s memahami mimpi yang dialaminya tersebut berturut-turut sebagai indikasi adanya perintah Allah. di sisi lainpun, Nabi Ibrahim a.s harus rela dan mengikhlaskan anaknya untuk disembelih yang pada saat itu ia pun sangat menginginkan keturunan yang baik dari Allah SWT. Nabi Ismail a.s pun tak menolak atas itu, atas dasar taat pada orang tua ia pun bersedia.

    Sungguh spirit perjuangan yang besar untuk diteladani, di saat orang yang sangat dicintai harus direlakan dan diikhlaskan. hal ini sangat relevan dengan masa kini di tengah pandemi, dimana kita harus tetap berdampingan dengan virus yang telah banyak memakan korban jiwa yang ada di sekitar kita. terungkap dengan banyaknya orang-orang yang meninggalkan kita akibat musibah tersebut, seharusnya membuat kita meneladani sikap Nabi Ibrahim a.s yang lapang akan keikhlasannya. tidak lupa kita mengenal sosok istri dari Nabi Ibrahim a.s yaitu Siti Hajar. seorang ibu yang rela bahu membahu dan mandiri dalam mengurus anaknya. diikuti oleh keridhoan hati, ada peristiwa dimana tidak pernah kita lupakan yaitu saat Siti Hajar memerlukan air demi Ismail a.s anaknya. peristiwa keteguhan dari seorang ibu yang harus optimis melangkah dari bukit Shafa ke Marwah dilakukan 7x bolak balik hingga keluar mata air zamzam. MasyaAllah, ketegarannya lah kita bisa belajar bahwa hanya kepada Allah lah kita harus bersimpuh. peristiwa tersebut bisa kita kenal dengan sebutan "sa'i" yang menjadi salah satu dari banyaknya rangkaian ibadah umroh dan haji di Tanah Suci.

    Namun dengan momentum qurban ini selain kita bisa belajar ikhlas, kita dapat memaknainya dengan meningkatkan kesolidaritasan sesama umat muslim bahkan umat beragama. jika Qurban hanya diukur manfaatnya dengan cara membagikan daging hewan qurban, rasanya kita terlalu sempit dalam memaknainya. qurban lebih daripada itu, ini tentang bagaimana kita merefleksikan diri terhadap esensi adanya qurban. apalagi di tengah pandemi, membuat kita semakin sadar dan belajar bahwa pandemi tidak boleh mengesampingkan kita pada hal-hal keberagaman dan kemanusiaan. qurban ialah momentum yang seharusnya universal, bisa dimaknai oleh siapapun dengan menembus batas identitas agama ataupun yang melatarbelakanginya. sehingga, momentum qurban inipun bisa menjadi cara untuk kita mereduksi ego. sebab qurbanpun mengajarkan kita untuk merelakan hal yang terbesar dalam diri kita yaitu, ego.

Cara Pandang Hidup ala Stoa dan Relevansinya Hingga Saat Ini.

Sebagian orang mungkin mengenal Stoisisme dari buku Self-Improvement berjudul Filosofi Teras, karangan Henry Manampiring. namun ternyata, stoisisme telah ada sejak 300 SM atau 2300 tahun yang lalu. it's been a long time.

 1. Asal Mula

Kira-kira 300 tahun sebelum masehi (atau sekitar 2300 tahun lalu), asa seorang pedagang kaya dari Siprus Isebuah pulau di Selatan Turki) bernama Zeno. ia melakukan perjalanan dari Phoenicia ke Peiraeus dengan kapal laut. Zeno membawa barang dagangan khas daerahnya yaitu semacam pewarna tekstil berwarna ungu yang biasa dipakai untuk para jubah raja-raja. pewarna teresebut dibuat dari ekstrak siput laut yang harganya sangat mahal, karena proses pembuatannya yang sangat melelahkan dengan cara membuka siput laut dengan tangannya sendiri demi mendapatkan beberapa gram ekstrak pewarna.

Namun saat di tengah perjalanan, kapal yang ditumpangi Zeno karam. ia tak hanya kehilangan barang dagangannya yang mahal, ia juga terdampar di Athena. mungkin sebagian besar orang ketika mengalami ini akan merasakan stress ataupun depresi. tapi bagaimana dengan Zeno?

Suatu hari di Athena, ia pergi mengunjungi sebuah toko buku dan mmenemukan buku aliran filsafat yang menarik hatinya. lalu ia bertanya pada sang pemilik toko buku tersebut, dimanakah ia bisa menemukan filsuf-filsuf seperti penulis buku itu. kebetulan saat itu melintaslah Socrates, sang pemilik toko buku menunjuknya. Zeno pun pergi mengikutinya. ia belajar dari berbagai filsuf yang ditemuinya. kemudian ia justru mulai mengajar filosofinya sendiri. ia senang mengajar di sebuah teras berpilar yang dalam bahasa Yunani dikenal dengan "stoa", terletak di sisi Utara dari agora (semacam alun-alunya Yunani kuno) di kota Athena. sampai saat ini, disebutnya Stoisisme.

Selain Zeno, filsafat ini dilanjut dan dikembangkan oleh filsuf lain, mulai dari Yunani sampai kekaisaran Romawi. beberapa dari mereka adalah Chrysippus dari Soli (Yunani) yang dianggap sebagai pendiri kedua Stoisisme; Cato The Younger dari Roma, seorang politisi dan negarawan yang terkenal berani menantang Julius Caesar; Lucius Seneca dari Roma, mengajar filsafat di era Kaisar Nero; Epictetus dari Yunani yang terlahir sebagai budak, kemudian dibebaskan dan tinggal di Roma; dan Marcus Aurellius, yang dikenal sebagai salah satu dari 5 kaisar yang baik. (The Five Good Emperor)

Pada dasarnya, mempelajari Filsafat merupakan hal yang setiap manusia harusnya pelajari. sebab filsafat bukan hanya sekedar wacana teoritis belaka, namun menuju level kebijaksanaan yang nantinya menjadi laku nyata. sebagaimana dalam bahasa Yunani, "Philo" yang artinya Cinta dan "Sophia" adalah Kebijaksanaan. maka Stoisisme menunjukkan kebijaksanaan universal yang terkandung di dalamnya.

Tujuan utamanya ialah :

  1. Hidup terbebas dari emosi negatif (sedih, marah, cemburu, curiga, baper, dll) dan mendapat hidup yang tenteram. hidup dengan memfokuskan terhadap hal-hal yang bisa kita kendalikan.
  2. Hidup mengasah kebajikan (virtues). menurut Stoisisme ada empat : 
  • Kebijaksanaan (wisdom); kemampuan mengambil keputusan terbaik dalam situasi apapun.
  • Keadilan (justice); memperlakukan orang lain dengan adil dan jujur.
  • Keberanian (courage); keberanian dalam memegang prinsip.
  • Menahan diri (temperance); disiplin, kesederhanaan, kepantasan, dan kontrol diri (atas nafsu dan emosi).

dengan mempelajari cara pandang hidup ala orang-orang Stoa sangatlah bermakna jika kita aplikasikan ke dalam keseharian kita. selain memiliki tujuan yang baik, Stoisisme mengajarkan bahwa siapapun makhluk hidup di muka bumi ini seperti kita ialah seorang manusia yang harus hidup dengan kesesuaian. Iya, hidup yang selaras dengan alam. Nature.... Nature di sini memiliki arti yang sangat luas, tidak hanya alam ataupun lingkungan hidup. melainkan keseluruhan alam semesta dan seluruh penghuninya. "Live in accordance with nature".

dalam konteks Nature nya manusia, Stoisisme mengtakan bahwa yang membedakan Manusia dengan Binatang ialah "nalar atau rasio" nya. filosofi ini sangat membutuhkan nalar, agar konsep di dalamnya dapat diterima oleh siapapun tanpe perlu diperdebatkan darimana asal muasalnya. maka, manusia yang hidup selaras dengan Alam ialah manusia yang hidup sesuai dengan apa yang telah Tuhan ciptakan esensi Manusia seperti apa. Manusia yang bernalar, memanusiakan manusia dan makhluk hidup lainnya, menjaga keserasian alam semesta, serta menjadi khalifah di bumi. Sangat bagus bukan?

Kita sangat menyadari bahwa manusia adalah makhluk sosial, maka daripada itu kita juga harus menyadari bahwa apa yang ada di muka bumi ini adalah bentuk rantai konsekuensi yang telah diciptakan. bukan semata-mata ada dan datang begitu saja.

2. Dikotomi Kendali

Di tengah hingar bingar suasana pandemi mengharuskan kita semakin banyak berpikir dan mengevaluasi diri. How much do you know yourself? terlepas daripada apa jenis masker yang kamu gunakan, apa pilihan politikmu, kamu lebih suka instagram atau tiktok. mari kita kesampingkan hal-hal tersebut sementara agar tidak semakin terpolarisasi.

 "Ada hal-hal yang di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali kita" - Epictetus (Enchiridion)

ingatkah dengan kalimat "you deal with yourself"? yes, it's interconnected. bahwa segala sesuatu itu kita yang menentukan, kita yang kendalikan. kecuali hak prerogatif Tuhan. seperti kekayaan, harta benda, reputasi, popularitas, peristiwa alam, kesehatan, kondisi saat kita lahir, tindakan bahkan interpretasi orang terhadap kita. itu semua tidak di bawah kendali kita. yang di bawah kendali kita ialah, tindakan dan interpretasi kita. terlepas itu tujuan kita, opini kita, nilai pertimbangan (value judgement), keinginan kita, ataupun segala sesuatu yang bersumber dari pikiran dan tindakan kita sendiri.

filosofi ini membutuhkan nalar atau rasio kita sebagai manusia dalam memandang segala hal. apakah benar bahwa popularitas, harta benda atau reputasi kita ada di bawah kendali kita? tentu tidak. itu bukan hal yang menjadi satu-satunya yang ada dalam kendali kita. ingat bahwa itu semua hanya bonus ketika kita mendapatkannya di dunia. segala sesuatu itu pasti ada konsekuensinya. maka dari itu, nalar sangat dibutuhkan dalam memahami dan mengaplikasikannya. 

Stoisisme mengjarkan kita bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari "things we can control". pada hal-hal yang ada di bawah kendali kita. maka sebaliknya, kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan dan kedamaian sejati kepada hal-hal yang tidak bisa kendali kan. seperti menggantungkannya kepada orang lain, perilaku atau bahkan opini orang lain. bagi filsuf Stoa, ini merupakan hal yang tidak rasional. you know what's the best for yourself.

selain Dikotomi Kendali, William Irvine dalam bukunya A Guide To Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy merevisi dikotomi kendali menjadi Trikotomi Kendali. terdiri dari hal-hal yang dapat dikendalikan (sikap, opini, persepsi kita); hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan (opini dan tindakan orang lain); dan hal-hal yang Sebagian bisa dikendalikan (sekolah, pasangan hidup, pekerjaan). bagaimana bisa?

dengan cara memisahkan tujuan di dalam diri (internal goal) dari hasil eksternal (outcome-nya). contoh, kamu sedang menghadapi interview kerja di sebuah perusahaan Multinasional. kamu tidak tahu akan berhadapan interviewernya seperti apa, karakter atau penampilannya yang seperti apa, atau pertanyaan apa saja yang akan ditanyakan. namun, kamu hanya memfokuskan terhadap persiapan pada saat sebelum hari interview tiba dengan sebaik mungkin. Internal Goal-nya, ialah persiapanmu dengan sebaik-baiknya menjadi target kepercayaan dirimu. Namun, Outcome-nya ialah hasil seleksi yang akan tiba apakah kamu lolos atau tidak ialah tidak di bawah kendali dirimu sendiri. itulah Trikotomi Kendali yang dimaksud Irvine.

Usaha --> Internal Goal --> di bawah kendali.

Hasil --> Outcome --> di luar kendali.

Preferred dan Unpreferred Indifferents

Stoisisme memasukkan semua hal yang di luar kendali kita sebagai "indifferent", alias "hal-hal yang gak ada pengaruhnya (baik atau buruknya)" dengan kita. ia sifatnya netral. Filosofi ini bukan mengajarkan kita menjadi manusia yang pasrah akan keadaan yang tidak di bawah kendali kita seperti kekayaan, reputasi, kesehatan, paras tubuh. Sebaliknya, tidak ada pula manusia yang menyukai kesusahan karena keuangan, sakit karena penyakit, atau kelaparan. filosofi ini mengajarkan kita untuk imbang dan moderat di dua sisi. maka Stoa membaginya menjadi dua:

  1. Preferred Indifferent. hal-hal yang tidak ada pengaruhnya, tetapi "kalau ada" ya bagus. seperti harta benda, kesehatan, paras tubuh yang baik, popularitas yang baik. selain karena adanya kekayaan dan kesehatan dampaknya baik, tentu membuat manusia menjadi bisa saling berbagi dan mengaplikasikan kebajikannya sebagai manusia.
  2. Unpreferred Indifferent. hal-hal yang tidak ada pengaruhnya, tetapi kalau "tidak ada" ya lebih baik. seperti sakit karena penyakit, reputasi buruk, kelaparan karena kesusahan. 

3. Premeditatio Malorum dan Hedonic Adaptation 

dalam menyelami kehidupan yang amat luas, Stoisisme memiliki sejumlah cara untuk membuat mentalitas kita tangguh dalam menghadapi hidup. seperti mempraktikan Premeditatio Malorum, yaitu memikirkan hal-hal yang terburuk akan terjadi pada kita. ini adalah bentuk simulasi dari melatih mental dalam menerima hal-hal yang tidak kita inginkan nantinya terjadi. filosofi ini mengajarkan kita bahwa semua yang di luar kendali kita sifatnya "indifferent" artinya tidak baik atau buruk karena tidak memiliki pengaruh pada kualitas karakter diri kita. maka, dalam menghadapi musibah atau kesulitan hidup justru bagi orang-orang Stoa ialah sebagai ajang dan kesempatan untuk menjadi lebih baik. misalnya, kamu sedang berada dalam sebuah peawat menuju negara yang kamu impikan. disanding dengan kamu berdoa demi keselamatan, namun keselamatan bukan menjadi hal yang ada dalam kendalimu saat itu. Premeditatio Malorum bisa dipraktikan pada saat itu, dimana kita harus siap dengan segala konsekuensi nantinya entah pesawat itu akan landing dengan selamat atau justru sebaliknya. apakah jika mengalami kecelakaan lalu kita menjemput kematian atau selamat dengan cacat atau bahkan baik-baik saja? melatih berpikir seperti ini bukan membuat kita untuk negative thinking, tetapi diusahakan agar kita siap nantinya dengan segala kondisi yang ada agar tidak kaget. 

selain itu, filsuf Stoa pun mengajarkan kita untuk melawan pola pikir yang destruktif dengan cara Latihan Menderita (practice poverty) atau yang bisa diartikan "latihan apes, kesusahan". seperti puasa internet? makan-makanan yang sederhana atau murah, berpakaian usang yang pada intinya ialah jauh dari kenyamanan pada umumnya kita rasakan. Menurut Irvine manfaatnya ialah, melatih diri kita menjadi lebih tangguh. kedua, membuat kita lebih percaya diri. "ternyata gue bisa lewatin ini semua." tentu bukan kalimat yang asing bagi kita, it's like words of affirmation right? ketiga, melawan fenomena yang ilmu psikologi sebut dengan Hedonic Adaptation atau yang artinya adaptasi kenikmatan. apapun yang membuat kita senang (kekayaan, popularitas, seks, danlain-lain) pada akhirnya akan kehilangan kenikmatannya sendiri seiring berjalannya waktu. seperti saat kita mendapatkan sesuatu yang kita peroleh melalui membelinya (tas, sepatu, baju, gadget), memenangkan kejuaraan, atau kenaikan jabatan yang awalnya kita merasa senang. namun, seiring berjalannya waktu kenikmatan yang kita rasakan akan turun ke base level dan menjadi tidak spesial lagi. justru, saat kita menemukan kembali nikmatnya segala sesuatu yang telah kita miliki, maka kita pun akan bisa merasa lebih bahagia dan bersyukur. sekali lagi, cara-cara tersebut membuat kita berlatih memiliki mental tangguh dan tidak meraup segala kenikmatan dunia tanpa pernah kita evaluasi sebelumnya. filosofi ini banyak mengajarkan kita untuk selalu merasa cukup dan bersyukur telah memilikinya.

4. Kosmopolitan

diambil dari kata Yunani "kosmopolites" yang artinya "warga dunia (citizen of the world)". Hierocles, seorang filsuf Stoa yang hidup di zaman yang sama dengan Marcus Aurellius menjelaskan bahwa lingkup praktik untuk memperlebar sosial, kasih sayang kita terhadap orang-orang sekitar. tidak hanya dari keluarga, atau kerabat saja namun dari lingkup kecil hingga besar. lebih daripada itu, tapi seluruh umat manusia di dunia. Hierocles mengajarkan kita untuk bersikap ramah bahkan menyapa siapapun sebagai "sahabat" atau "saudara", mungkin lumrah dipraktikan di sini sebagai "kak", "bang", dan lain-lain. artinya, filosofi ini mengakui bahwa pada akhirnya kita akan menjadi bagian dari dunia dan alam semesta yang semestinya tanpa perlu memandang perbedaan yang melatarbelakangi kita. 

ingat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata "dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan." Stoisisme mengajarkan kita untuk bersaudara menembus identitas agama, bahkan bangsa maka daripada itu betapa konyolnya jika kita bertengkar hanya karena perbedaan politik atau bahkan pemahaman dalam beragama sekalipun. Stoisisme terasa semakin relevan untuk menjadi antidote melawan kekuatan yang hendak memisahkan dan mengadu domba kita, kata Henry Manampiring. selain itu, dengan cara kita sadar menjadi bagian dari warga negara dunia. hal itu berarti kita tidak pasif bahkan apatis begitu saja melihat perubahan sosial dan kondisi segala bidang di sekitar kita, seperti perubahan iklim, kondisi sosial-politik di negara, atau bahkan isu-isu kemanusiaan yang tidak pernah usai. filosofi ini mengajarkan bahwa kita harus turut berkontribusi dalam menyelesaikannya. terlepas bagaimana cara kita berkontribusi, mulai dari social movement, aksi protes, petisi dan lain-lain merupakan mengubah cara pandang yang sementara "not in our control" menjadi "in our control". ingat? Kita Kuat Bersama. ini merupakan spirit untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan isu-isu di negara.

"orang bijak akan terus berpartisipasi dalam urusan publik, sampai ia tak mampu lagi." - Seneca (On Leisure)

 Hidup santuy ala Stoa :)


"STOISISME ADALAH LAKU NYATA, BUKAN SEKEDAR WACANA TEORITIS." 

book review of Filosofi Teras by Henry Manampiring, diselesaikan saat di masa isolasi saya melawan Covid-19.

KOPRI SEBAGAI WADAH MENINGKATKAN INTELEKTUALITAS DAN MENGASAH KEPEKAAN SOSIAL


Kopri sebagai organisasi perempuan yang lahir pada tanggal 25 November 1967 dan berstatus badan semi otonom dari PMII. Hal ini mengungkapkan bahwa antara PMII dan Kopri memiliki garis intruksi ataupun garis koordinasi kesalingan dalam bergerak bersama. Perjalanan kopri tidak mudah, terjal dan melewati banyak stagnansi yang pahit berkepanjangan. Namun, atas dasar kebutuhan dan semangat Kopri itu sendiri pula yang juga membangkitkan giroh di tubuh kopri hingga saat ini.

53 tahun sudah usia kopri, usia yang tidak muda lagi untuk menjadi wadah bagi para kader kopri. Tentunya kopri telah banyak memberikan kontribusi di berbagai hal, termasuk pada hal-hal yang sifatnya kemanusiaan. Sebagaimana termaktub dalam visi Kopri, yaitu terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai kader perempuan di PMII atau Kopri, hal seperti ini harus tercermin di setiap diri para kader perempuan di PMII.

Bicara mengenai intelektualitas tentunya harus ditunjang oleh sejumlah keilmuan dan kemampuan yang harus dimiliki setiap kader perempuan PMII. Bahkan sekarang sudah di era globalisasi dan revolusi industry 4.0 dimana ketajaman digitalisasi meliputi di berbagai aspek kehidupan. Sektor pendidikan misalnya sekarang menggunakan perangkat teknologi bahkan sistem pengajarannya banyak yang melalui daring (dalam jaringan). Hal ini diperkuat oleh pandemi covid-19 yang memasuki Indonesia sejak 8 bulan terakhir, dimana kegiatan belajar mengajar dilakukan dari rumah. Nah, hal tersebut merupakan fenomena yang tentunya kita alami bersama di masa perkuliahan. 

Mengenai hal tersebut ialah salah satu bukti bahwa kader perempuan PMII tidak boleh tertinggal oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian bicara intelektalitas tentunya juga harus diiringi oleh soft skill dan hard kill. Dimana hard skills merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Sementara itu, soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal. 

Oleh karenanya, mahasiswa yang tergabung dalam organisasi PMII dan yang pastinya telah menjadi kader perempuan PMII merasa terwadahi dengan adanya KOPRI. Sebuah badan yang mewadahi para kader perempuan PMII baik dari segi pemikiran, kemampuan, keberanian, keilmuan bahkan wacana politik sekalipun. Karena menurut Saya, perempuan sudah tidak boleh lagi tertinggal dari ruang-ruang keilmuan. Karena perempuan harus berdaya baik secara pemikiran maupun gerakan.

Selama ini perempuan selalu menjadi bahan objektivikasi bahkan subjek yang dinomorduakan (subordinasi) karena korban mata rantai patriarki yang selama ini sulit untuk kita stigmatisasi. Dalam hal ini tentunya KOPRI tidak pantang menyerah dalam memutus mata rantai ketidak adilan gender. Mengacu kepada 4 musuh Bersama KOPRI, yang salah satunya di bidang social-budaya yaitu budaya patriarki dimana menomorsatukan laki-laki sebagai subjek utama di segala pengambilan keputusan. Tentunya hal tersebut tidak sejalan dengan mitra sejajar atau sikap kesalingan (mubaadalah) yang senantiasa KOPRI maupun PMII implementasikan, termaktub dalam Al-Qur’an yang artinya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam kodrat yang berbeda, namun sama-sama mempunyai tanggungjawab kekholifahan. (Q.S 8: 165), Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama seimbang (Q.S 2: 228).

Selain itu, dengan adanya wadah KOPRI mampu mewadahi kemampuan baik softskill maupun hardskill, KOPRI juga dituntut dan tertuntut untuk melek akan keilmuan. Hal ini biasa terjadi ketika di ranah rayon atau komisariat dimana para Kopri berproses. Karena bagaimanapun, rayon atau komisariat merupakan rumah pertama yang akan mereka tempa saat berproses. Bahkan ada yang bilang bahwa rayon atau komisariat ialah ladangnya grassroot, dimana grassrootlah yang paling memiliki peranan penting dalam berproses sebab disanalah para kader PMII maupun Kopri belajar mengenal dirinya dan sekitarnya.

Melalui kajian-kajian keilmuan, wacana-wacana publik, isu-isu kemanusiaan (baik yang sensitif gender ataupun global) yang menjadi sentral membuat para Kopri menjadi lebih melek dan peka terhadap sosialnya. Karena biar bagaimanapun, perempuan harus sudah dan mampu untuk masuk ke setiap lini dan lagi-lagi Saya harus bilang bahwa perempuan tidak boleh tertinggal dalam ruang-ruang keilmuan maupun wacana publik. Mengingat pepatah Bung Karno, “Laki-laki dan perempuan adalah seperti dua sayap dan seekor burung.

Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya. ika patah satu daripada dua sayap itu, maka tidaklah dapat terbang burung itu sama sekali.”

Nah, melalui kajian-kajian keilmuan bahkan kajian buku yang biasa mereka baca akan menumbuhkan dinamika-dinamika agar tetap berjalannya proses penempaan diri di setiap kader perempuan di PMII yang biasa diidentikan bahwa perempuan cenderung berperasaan. Hal ini dapat dibantah melalui statementnya Imam As Suyuti, “barangsiapa yang ingin kokoh eksistensinya, maka hendaklah ia terbiasa menghadapi problematika.” Jadi, baik laki-laki maupun perempuan tidak ditentukan jenis kelaminnya siapa yang lebih berperasaan, tetapi sejauh mana mereka meampu menghadapi dan mampu menyikapi keadaan. 

Selain kajian-kajian keilmuan atau bedah buku, presentasi maupun sharing session seperti seminar turut menunjang intelektualitas para kader perempuan di PMII menjadi lebih berkualitas. Sebab ruang keilmuan bukan terdiri dari tembok-tembok bahkan bangku-bangku kelas, tapi meliputi seluruh alam.

Kemudian mengacu kepada tri dharma perguruan tinggi poin ke-3 yaitu pengabdian masyarakat. Tentunya, kopri sebagai wadah perempuan yang berorganisasi di PMII menjadi salah satu instrument untuk mengimplementasikan tri dharma perguruan tinggi poin ke-3. Mengingat bahwa kita pun lahir dari masyarakat pasti tentunya akan Kembali kepada masyarakat, hal ini tidak terlepas dari aktivitas kita sebagai makhluk sosial. Wadah perempuan khususnya dan PMII pada umumnya adalah organisasi yang memiliki komitmen besar untuk tidak pasrah melihat ketidakadilan. Sebagaimana manifestasi dari Mega Mendung – Bogor, 1965. “PMII harus berwatak radikal progresif dan revolusioner militan tidak boleh konservatif, sosialistik bukan kapitalistik, dinamik bukan statis dan beku, membela agama di mana pun dan kapan pun, tegas dan jujur dan konsekuen dalam membela kebenaran. Dalam hal bepihak, PMII tak bisa lain kecuali berpihak kepada ke-Tuhanan, kepada sosialisme, membela buruh dan petani, mengganyang habis kemiskinan, kebodohan dan kezaliman, memihak kepada perjuangan melawan neokolim dan penghisapan manusia atas manusia dalam segala bentuk dan manivestasi.” (Mega Mendung - Bogor, 26 April 1965).”

Manivestasi Mega Mendung PMII, menyiratkan bahwa PMII senantiasa hadir dalam menghadapi problem masyarakat dan organisasi. Berangkat dari inilah KOPRI PB PMII sebagai organisasi jamaah meyakini bahwa masalah-masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat hanya bisa dipecahkan melalui usaha-usaha kelompok atau organisasi. Seperti firman Allah SWT:“Tangan (kekuatan) Tuhan beserta Jama’ah (masyarakat)”. Ini merupakan penegasanKOPRI akan tanggungjawabnya untuk menyikapi persoalan-persoalan sosial masyarakat. Begitulah sedikit yang bisa saya kutip dari Modul Kaderisasi yang tentunya menjadi harapan Bersama para Kopri.

Maka KOPRI dalam melakukan advokasi di masyarakat ini, yakni membimbing bagaimana KOPRI mengajak kader dan masyarakat untuk menjadi cerdas dalam menghadapi kehidupan, mengajak mereka mengetahui, mengerti dan memahami hak-hak mereka di negeri ini.

Women’s and Beauty Standard Problems; Perempuan dalam Belenggu Konstruk Sosial

Perempuan seringkali disandingkan dengan berbagai macam sudut pandang dan konstruk yang timpang. Dari ujung kepala hingga kaki selalu ada hal yang bisa dijadikan bahan pembicaraan, baik sisi positif hingga negatif. Menjadi perempuan tidaklah mudah, punya segudang tanggungjawab yang menempel bersamaan stigma yang kerap kali diterima. Kenyataan bahwa perempuan harus berdiam diri di rumah, menuruti apa kata laki-laki di dalam relasi keluarganya, bahkan ada batasan dalam menikmati akses di segala hal yang sebenarnya sah-sah saja baik laki maupun perempuan turut merasakannya.

 Sejak dahulu kala, dengan adanya konsep gender membuat pihak perempuan yang paling banyak dirugikan. Padahal tidak hanya menimpa pada pihak perempuan, pihak laki-lakipun juga. Konsep ini bermula dari keadaan makhluk hidup zaman prasejarah. Bermula pada saat itu mereka memproduksi makanan sendiri untuk bertahan hidup (food producing), lalu bergeser menjadi mencari makan dan berburu (food gathering). Hal ini diperkuat ketika makhluk prasejarah pada saat itu yang awalnya hidup berpindah-pindah tempat (nomaden) menjadi tetap, dan saling membutuhkan untuk tumbuh dan berkembangbiak sehhingga mengharuskan tinggal seatap. Lalu, laki-laki harus mencari makanan keluar sedangkan perempuan berjaga di rumah. Inilah sedikit uraian mengapa konsep gender itu lahir. Padahal, yang harus sama-sama kita ketahui gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi tugas, peran dan tanggungjawab. Bukan hal-hal yang dikonstruk (dibentuk) secara sosial maupun kultural.

Hari ini kita tiba di zaman milenial yang semuanya serba canggih dan instan, atau bisa disebut era globalisasi yang semakin diperkuat oleh adanya revolusi industri 4.0. Mulai dari teknologi informasi, bahkan akses mendapatkan informasi dari berbagai platform media sosial. Hal ini ternyata selain berdampak baik terhadap kemajuan ekonomi, bidang pendidikan bahkan kemajuan teknologi. Hal itu pula dapat menjadi hal yang berdampak buruk untuk seluruh masyarakat Indonesia khususnya, apalagi ditambah dengan adanya budaya asing yang ikut masuk dan bersaing.

Perempuanlah yang sedari dulu telah mendapat banyak ketimpangan dan korban dari globalisasi. Rentetan isu-isu sosial yang ada, dari mulai diskriminasi terhadap suku, agama, ras dan antargolongan  (SARA) hingga ke warna kulitpun ikut diperhitungkan. Sebab edukasi ramah gender yang masih perlu dilanggengkan, perlu banyak dorongan pihak untuk ikut saling mengedukasi dan mengimplementasikan.

Banyak sekali macam-macam belenggu konstruk sosial yang perempuan terima, dari mulai warna kulit, bentuk tubuh, cara berpakaian, cara bersikap, cara berjalan, cara berbicara hingga banyak sekali standar-standar yang menurut mayoritas kultur harus dipahami dan dilaksanakan. Jika tidak, bisa-bisa perempuan menerima sanksi sosial di setiap daerah yang ia pijaki. Kita bisa sebut itu semua dengan Standar Kecantikan. Memang benar adanya bahwa standar kecantikan tidak luput dari peranan sosial dan kultural yang melekat. Dilansir dari IDN times mengenai potret kisah standar kecantikan di beberapa negara seperti :

1.      Mauritania, Big is Beautiful. Perempuan di Mauritania berlomba-lomba untuk menggemukkan badan mereka, mengonsumsi 15.000 kalori per hari dan akan mengkonsumsi pil penambah berat badan jika target berat badan yang diharapkan tidak tercapai. Karena standar kecantikan disana memang dikonstruk seperti itu, selain melambangkan bahwa akan cepat dipinang oleh laki-laki tetapi itu juga menjadi bukti bahwa tubuh gemuk menjadi lambang kemakmuran dan lambang gengsi yang tinggi.

2.      Jepang, trend Yaeba (gigi gingsul dan runcing) menjadi standar kecantikan yang mungkin masih digandrungi. Sebab dianggap menjadi perempuan yang lebih imut daripada usia seharusnya.

3.      Thailand dan Myanmar, para perempuan di suku ini memanjangkan lehernya dengan menggunakan ring kuningan di leher yang jumlahnya akan ditambah dari waktu ke waktu. Dengan banyaknya ring kuningan, maka bahu mereka akan terdorong ke bawah sehingga leher terlihat panjang. Standar kecantikan ini tidak hanya dianut oleh Suku Karen di Thailand, tapi juga Suku Kayan di Myanmar.

4.      Indonesia, di pedalaman Kalimantan tempat Suku Dayak bermukim, cara seorang perempuan menjadi cantik adalah dengan memiliki telinga panjang yang menjuntai hingga ke leher. Para perempuan di suku ini akan menggunakan anting logam atau emas di telinganya dan jumlahnya akan terus bertambah setiap tahun.

Itu adalah sekian dari banyaknya contoh yang ada di dunia. Namun hari ini, kita dihadapkan oleh persoalan bahwa standar kecantikan perempuan ialah yang bertubuh langsing, ramping, tinggi, kurus, dan berkulit putih. Perempuan yang memiliki kriteria tersebut dianggap lebih layak dan dihormati oleh sebagian besar kalangan. Padahal, cara pandang seperti itulah yang harusnya tidak dilakukan oleh manusia. "Cara pandang yang membeda-bedakan status gender (jenis kelamin), ras, suku, agama dan bangsa bukanlah cara pandang Tuhan melainkan cara pandang manusia." -KH Husein Muhammad. 

      Peran media sosial sangatlah memberi atensi yang tinggi dan dampak yang signifikan terhadap persoalan standar kecantikan. Sebab masih marak sekali iklan-iklan yang terpasang dan ditampilka dengan model yang dianggap lebih dapat menarik atensi lebih kepada publik. Seperti model yang cantik karena kulit putih, tinggi, kurus, tidak berjerawat, mulus dan lain-lain. Sehingga bermunculan obsesi-obsesi baru yang membuat banyak pihak untuk memanfaatkan lahan tersebut ke dalam ladang bisnis baru, seperti make up dan skin care yang semakin gencar mayoritas digandrungi para kaum perempuan muda. Karena klaim yang meyakinkan dapat mengubah paras yang memenuhi standar kecantikan saat ini. Kaum laki-lakipun dan bahkan orang tua (keluarga) sangat bisa jadi mendukung penuh untuk kaum perempuan baik anaknya untuk menjalani serangkaian aktivitas perawatan kecantikan, yang sangat bisa jadi pula hal itu tidak dikehendakinya.

      Ada yang bilang bahwa “beauty is pain”. Bahkan banyak pula yang mengiyakan, banyak sekali contoh yang bisa dijadikan bukti. Baik dari munculnya produk kecantikan dan klinik kecantikan dengan klaim bisa memutihkan kulit, operasi bagian wajah (tanam benang, botoks, filler, sulam alis, dll), suntik lemak agar cepat kurus, berjualan produk slim & diet bahkan veneer gigi. Seolah inilah sebuah sistem yang dibangun dan diciptakan karena adanya ladang bisnis. Bukan karena kebutuhan. Ditakutkan dengan cara seperti ini tidak akan menjadi kebaikan jangka panjang, namun pendek rasa aman. So, tidak ada salahnya merawat tubuh asal dilakukan dengan rasa sukarela, tulus dan murni tanpa paksaan sehingga kita memang paham dan mengetahui apa yang menjadi konsekuensi logis setelahnya.

      Kita memang berada pada dunia yang penuh dengan kemajuan, boleh saja kita menerimanya namun kita tidak boleh tergiring dan terbawa arus dalam kemajuan tersebut. Bijaklah terhadap apa yang menjadi konsekuensi setelahnya. Sehingga, tak ada lagi yang perlu melanggengkan standar kecantikan sesungguhnya. Sebab itu tidak benar-benar ada, itu hanyalah opini yang dilanggengkan oleh sebagian besar orang dan diamini bersamaan. Ingat, kita cantik atas hati, kecerdasan dan sikap kemanusiaan kita. Bukan hanya karena paras kita.


**Tulisan ini ialah tulisan yang belum dapat dimenangkan saat perlombaan. Tapi tulisan ini ku persembahkan kepada para perempuan dan pembaca sekalian.

🙏🙏🙏🙏

Penerangan Jalan: Bukti Keseriusan Pejabat Publik Dalam Mencegah Terjadinya Kekerasan Seksual di Setiap Daerahnya

Seringkali menemukan jalan yang minim bahkan enggan penerangan jalan merupakan fenomena yang tidak jarang lagi dijumpai. Sah-sah saja rasa...