Women’s and Beauty Standard Problems; Perempuan dalam Belenggu Konstruk Sosial

Perempuan seringkali disandingkan dengan berbagai macam sudut pandang dan konstruk yang timpang. Dari ujung kepala hingga kaki selalu ada hal yang bisa dijadikan bahan pembicaraan, baik sisi positif hingga negatif. Menjadi perempuan tidaklah mudah, punya segudang tanggungjawab yang menempel bersamaan stigma yang kerap kali diterima. Kenyataan bahwa perempuan harus berdiam diri di rumah, menuruti apa kata laki-laki di dalam relasi keluarganya, bahkan ada batasan dalam menikmati akses di segala hal yang sebenarnya sah-sah saja baik laki maupun perempuan turut merasakannya.

 Sejak dahulu kala, dengan adanya konsep gender membuat pihak perempuan yang paling banyak dirugikan. Padahal tidak hanya menimpa pada pihak perempuan, pihak laki-lakipun juga. Konsep ini bermula dari keadaan makhluk hidup zaman prasejarah. Bermula pada saat itu mereka memproduksi makanan sendiri untuk bertahan hidup (food producing), lalu bergeser menjadi mencari makan dan berburu (food gathering). Hal ini diperkuat ketika makhluk prasejarah pada saat itu yang awalnya hidup berpindah-pindah tempat (nomaden) menjadi tetap, dan saling membutuhkan untuk tumbuh dan berkembangbiak sehhingga mengharuskan tinggal seatap. Lalu, laki-laki harus mencari makanan keluar sedangkan perempuan berjaga di rumah. Inilah sedikit uraian mengapa konsep gender itu lahir. Padahal, yang harus sama-sama kita ketahui gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi tugas, peran dan tanggungjawab. Bukan hal-hal yang dikonstruk (dibentuk) secara sosial maupun kultural.

Hari ini kita tiba di zaman milenial yang semuanya serba canggih dan instan, atau bisa disebut era globalisasi yang semakin diperkuat oleh adanya revolusi industri 4.0. Mulai dari teknologi informasi, bahkan akses mendapatkan informasi dari berbagai platform media sosial. Hal ini ternyata selain berdampak baik terhadap kemajuan ekonomi, bidang pendidikan bahkan kemajuan teknologi. Hal itu pula dapat menjadi hal yang berdampak buruk untuk seluruh masyarakat Indonesia khususnya, apalagi ditambah dengan adanya budaya asing yang ikut masuk dan bersaing.

Perempuanlah yang sedari dulu telah mendapat banyak ketimpangan dan korban dari globalisasi. Rentetan isu-isu sosial yang ada, dari mulai diskriminasi terhadap suku, agama, ras dan antargolongan  (SARA) hingga ke warna kulitpun ikut diperhitungkan. Sebab edukasi ramah gender yang masih perlu dilanggengkan, perlu banyak dorongan pihak untuk ikut saling mengedukasi dan mengimplementasikan.

Banyak sekali macam-macam belenggu konstruk sosial yang perempuan terima, dari mulai warna kulit, bentuk tubuh, cara berpakaian, cara bersikap, cara berjalan, cara berbicara hingga banyak sekali standar-standar yang menurut mayoritas kultur harus dipahami dan dilaksanakan. Jika tidak, bisa-bisa perempuan menerima sanksi sosial di setiap daerah yang ia pijaki. Kita bisa sebut itu semua dengan Standar Kecantikan. Memang benar adanya bahwa standar kecantikan tidak luput dari peranan sosial dan kultural yang melekat. Dilansir dari IDN times mengenai potret kisah standar kecantikan di beberapa negara seperti :

1.      Mauritania, Big is Beautiful. Perempuan di Mauritania berlomba-lomba untuk menggemukkan badan mereka, mengonsumsi 15.000 kalori per hari dan akan mengkonsumsi pil penambah berat badan jika target berat badan yang diharapkan tidak tercapai. Karena standar kecantikan disana memang dikonstruk seperti itu, selain melambangkan bahwa akan cepat dipinang oleh laki-laki tetapi itu juga menjadi bukti bahwa tubuh gemuk menjadi lambang kemakmuran dan lambang gengsi yang tinggi.

2.      Jepang, trend Yaeba (gigi gingsul dan runcing) menjadi standar kecantikan yang mungkin masih digandrungi. Sebab dianggap menjadi perempuan yang lebih imut daripada usia seharusnya.

3.      Thailand dan Myanmar, para perempuan di suku ini memanjangkan lehernya dengan menggunakan ring kuningan di leher yang jumlahnya akan ditambah dari waktu ke waktu. Dengan banyaknya ring kuningan, maka bahu mereka akan terdorong ke bawah sehingga leher terlihat panjang. Standar kecantikan ini tidak hanya dianut oleh Suku Karen di Thailand, tapi juga Suku Kayan di Myanmar.

4.      Indonesia, di pedalaman Kalimantan tempat Suku Dayak bermukim, cara seorang perempuan menjadi cantik adalah dengan memiliki telinga panjang yang menjuntai hingga ke leher. Para perempuan di suku ini akan menggunakan anting logam atau emas di telinganya dan jumlahnya akan terus bertambah setiap tahun.

Itu adalah sekian dari banyaknya contoh yang ada di dunia. Namun hari ini, kita dihadapkan oleh persoalan bahwa standar kecantikan perempuan ialah yang bertubuh langsing, ramping, tinggi, kurus, dan berkulit putih. Perempuan yang memiliki kriteria tersebut dianggap lebih layak dan dihormati oleh sebagian besar kalangan. Padahal, cara pandang seperti itulah yang harusnya tidak dilakukan oleh manusia. "Cara pandang yang membeda-bedakan status gender (jenis kelamin), ras, suku, agama dan bangsa bukanlah cara pandang Tuhan melainkan cara pandang manusia." -KH Husein Muhammad. 

      Peran media sosial sangatlah memberi atensi yang tinggi dan dampak yang signifikan terhadap persoalan standar kecantikan. Sebab masih marak sekali iklan-iklan yang terpasang dan ditampilka dengan model yang dianggap lebih dapat menarik atensi lebih kepada publik. Seperti model yang cantik karena kulit putih, tinggi, kurus, tidak berjerawat, mulus dan lain-lain. Sehingga bermunculan obsesi-obsesi baru yang membuat banyak pihak untuk memanfaatkan lahan tersebut ke dalam ladang bisnis baru, seperti make up dan skin care yang semakin gencar mayoritas digandrungi para kaum perempuan muda. Karena klaim yang meyakinkan dapat mengubah paras yang memenuhi standar kecantikan saat ini. Kaum laki-lakipun dan bahkan orang tua (keluarga) sangat bisa jadi mendukung penuh untuk kaum perempuan baik anaknya untuk menjalani serangkaian aktivitas perawatan kecantikan, yang sangat bisa jadi pula hal itu tidak dikehendakinya.

      Ada yang bilang bahwa “beauty is pain”. Bahkan banyak pula yang mengiyakan, banyak sekali contoh yang bisa dijadikan bukti. Baik dari munculnya produk kecantikan dan klinik kecantikan dengan klaim bisa memutihkan kulit, operasi bagian wajah (tanam benang, botoks, filler, sulam alis, dll), suntik lemak agar cepat kurus, berjualan produk slim & diet bahkan veneer gigi. Seolah inilah sebuah sistem yang dibangun dan diciptakan karena adanya ladang bisnis. Bukan karena kebutuhan. Ditakutkan dengan cara seperti ini tidak akan menjadi kebaikan jangka panjang, namun pendek rasa aman. So, tidak ada salahnya merawat tubuh asal dilakukan dengan rasa sukarela, tulus dan murni tanpa paksaan sehingga kita memang paham dan mengetahui apa yang menjadi konsekuensi logis setelahnya.

      Kita memang berada pada dunia yang penuh dengan kemajuan, boleh saja kita menerimanya namun kita tidak boleh tergiring dan terbawa arus dalam kemajuan tersebut. Bijaklah terhadap apa yang menjadi konsekuensi setelahnya. Sehingga, tak ada lagi yang perlu melanggengkan standar kecantikan sesungguhnya. Sebab itu tidak benar-benar ada, itu hanyalah opini yang dilanggengkan oleh sebagian besar orang dan diamini bersamaan. Ingat, kita cantik atas hati, kecerdasan dan sikap kemanusiaan kita. Bukan hanya karena paras kita.


**Tulisan ini ialah tulisan yang belum dapat dimenangkan saat perlombaan. Tapi tulisan ini ku persembahkan kepada para perempuan dan pembaca sekalian.

🙏🙏🙏🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penerangan Jalan: Bukti Keseriusan Pejabat Publik Dalam Mencegah Terjadinya Kekerasan Seksual di Setiap Daerahnya

Seringkali menemukan jalan yang minim bahkan enggan penerangan jalan merupakan fenomena yang tidak jarang lagi dijumpai. Sah-sah saja rasa...