KOPRI SEBAGAI WADAH MENINGKATKAN INTELEKTUALITAS DAN MENGASAH KEPEKAAN SOSIAL


Kopri sebagai organisasi perempuan yang lahir pada tanggal 25 November 1967 dan berstatus badan semi otonom dari PMII. Hal ini mengungkapkan bahwa antara PMII dan Kopri memiliki garis intruksi ataupun garis koordinasi kesalingan dalam bergerak bersama. Perjalanan kopri tidak mudah, terjal dan melewati banyak stagnansi yang pahit berkepanjangan. Namun, atas dasar kebutuhan dan semangat Kopri itu sendiri pula yang juga membangkitkan giroh di tubuh kopri hingga saat ini.

53 tahun sudah usia kopri, usia yang tidak muda lagi untuk menjadi wadah bagi para kader kopri. Tentunya kopri telah banyak memberikan kontribusi di berbagai hal, termasuk pada hal-hal yang sifatnya kemanusiaan. Sebagaimana termaktub dalam visi Kopri, yaitu terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai kader perempuan di PMII atau Kopri, hal seperti ini harus tercermin di setiap diri para kader perempuan di PMII.

Bicara mengenai intelektualitas tentunya harus ditunjang oleh sejumlah keilmuan dan kemampuan yang harus dimiliki setiap kader perempuan PMII. Bahkan sekarang sudah di era globalisasi dan revolusi industry 4.0 dimana ketajaman digitalisasi meliputi di berbagai aspek kehidupan. Sektor pendidikan misalnya sekarang menggunakan perangkat teknologi bahkan sistem pengajarannya banyak yang melalui daring (dalam jaringan). Hal ini diperkuat oleh pandemi covid-19 yang memasuki Indonesia sejak 8 bulan terakhir, dimana kegiatan belajar mengajar dilakukan dari rumah. Nah, hal tersebut merupakan fenomena yang tentunya kita alami bersama di masa perkuliahan. 

Mengenai hal tersebut ialah salah satu bukti bahwa kader perempuan PMII tidak boleh tertinggal oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian bicara intelektalitas tentunya juga harus diiringi oleh soft skill dan hard kill. Dimana hard skills merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Sementara itu, soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal. 

Oleh karenanya, mahasiswa yang tergabung dalam organisasi PMII dan yang pastinya telah menjadi kader perempuan PMII merasa terwadahi dengan adanya KOPRI. Sebuah badan yang mewadahi para kader perempuan PMII baik dari segi pemikiran, kemampuan, keberanian, keilmuan bahkan wacana politik sekalipun. Karena menurut Saya, perempuan sudah tidak boleh lagi tertinggal dari ruang-ruang keilmuan. Karena perempuan harus berdaya baik secara pemikiran maupun gerakan.

Selama ini perempuan selalu menjadi bahan objektivikasi bahkan subjek yang dinomorduakan (subordinasi) karena korban mata rantai patriarki yang selama ini sulit untuk kita stigmatisasi. Dalam hal ini tentunya KOPRI tidak pantang menyerah dalam memutus mata rantai ketidak adilan gender. Mengacu kepada 4 musuh Bersama KOPRI, yang salah satunya di bidang social-budaya yaitu budaya patriarki dimana menomorsatukan laki-laki sebagai subjek utama di segala pengambilan keputusan. Tentunya hal tersebut tidak sejalan dengan mitra sejajar atau sikap kesalingan (mubaadalah) yang senantiasa KOPRI maupun PMII implementasikan, termaktub dalam Al-Qur’an yang artinya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam kodrat yang berbeda, namun sama-sama mempunyai tanggungjawab kekholifahan. (Q.S 8: 165), Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama seimbang (Q.S 2: 228).

Selain itu, dengan adanya wadah KOPRI mampu mewadahi kemampuan baik softskill maupun hardskill, KOPRI juga dituntut dan tertuntut untuk melek akan keilmuan. Hal ini biasa terjadi ketika di ranah rayon atau komisariat dimana para Kopri berproses. Karena bagaimanapun, rayon atau komisariat merupakan rumah pertama yang akan mereka tempa saat berproses. Bahkan ada yang bilang bahwa rayon atau komisariat ialah ladangnya grassroot, dimana grassrootlah yang paling memiliki peranan penting dalam berproses sebab disanalah para kader PMII maupun Kopri belajar mengenal dirinya dan sekitarnya.

Melalui kajian-kajian keilmuan, wacana-wacana publik, isu-isu kemanusiaan (baik yang sensitif gender ataupun global) yang menjadi sentral membuat para Kopri menjadi lebih melek dan peka terhadap sosialnya. Karena biar bagaimanapun, perempuan harus sudah dan mampu untuk masuk ke setiap lini dan lagi-lagi Saya harus bilang bahwa perempuan tidak boleh tertinggal dalam ruang-ruang keilmuan maupun wacana publik. Mengingat pepatah Bung Karno, “Laki-laki dan perempuan adalah seperti dua sayap dan seekor burung.

Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya. ika patah satu daripada dua sayap itu, maka tidaklah dapat terbang burung itu sama sekali.”

Nah, melalui kajian-kajian keilmuan bahkan kajian buku yang biasa mereka baca akan menumbuhkan dinamika-dinamika agar tetap berjalannya proses penempaan diri di setiap kader perempuan di PMII yang biasa diidentikan bahwa perempuan cenderung berperasaan. Hal ini dapat dibantah melalui statementnya Imam As Suyuti, “barangsiapa yang ingin kokoh eksistensinya, maka hendaklah ia terbiasa menghadapi problematika.” Jadi, baik laki-laki maupun perempuan tidak ditentukan jenis kelaminnya siapa yang lebih berperasaan, tetapi sejauh mana mereka meampu menghadapi dan mampu menyikapi keadaan. 

Selain kajian-kajian keilmuan atau bedah buku, presentasi maupun sharing session seperti seminar turut menunjang intelektualitas para kader perempuan di PMII menjadi lebih berkualitas. Sebab ruang keilmuan bukan terdiri dari tembok-tembok bahkan bangku-bangku kelas, tapi meliputi seluruh alam.

Kemudian mengacu kepada tri dharma perguruan tinggi poin ke-3 yaitu pengabdian masyarakat. Tentunya, kopri sebagai wadah perempuan yang berorganisasi di PMII menjadi salah satu instrument untuk mengimplementasikan tri dharma perguruan tinggi poin ke-3. Mengingat bahwa kita pun lahir dari masyarakat pasti tentunya akan Kembali kepada masyarakat, hal ini tidak terlepas dari aktivitas kita sebagai makhluk sosial. Wadah perempuan khususnya dan PMII pada umumnya adalah organisasi yang memiliki komitmen besar untuk tidak pasrah melihat ketidakadilan. Sebagaimana manifestasi dari Mega Mendung – Bogor, 1965. “PMII harus berwatak radikal progresif dan revolusioner militan tidak boleh konservatif, sosialistik bukan kapitalistik, dinamik bukan statis dan beku, membela agama di mana pun dan kapan pun, tegas dan jujur dan konsekuen dalam membela kebenaran. Dalam hal bepihak, PMII tak bisa lain kecuali berpihak kepada ke-Tuhanan, kepada sosialisme, membela buruh dan petani, mengganyang habis kemiskinan, kebodohan dan kezaliman, memihak kepada perjuangan melawan neokolim dan penghisapan manusia atas manusia dalam segala bentuk dan manivestasi.” (Mega Mendung - Bogor, 26 April 1965).”

Manivestasi Mega Mendung PMII, menyiratkan bahwa PMII senantiasa hadir dalam menghadapi problem masyarakat dan organisasi. Berangkat dari inilah KOPRI PB PMII sebagai organisasi jamaah meyakini bahwa masalah-masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat hanya bisa dipecahkan melalui usaha-usaha kelompok atau organisasi. Seperti firman Allah SWT:“Tangan (kekuatan) Tuhan beserta Jama’ah (masyarakat)”. Ini merupakan penegasanKOPRI akan tanggungjawabnya untuk menyikapi persoalan-persoalan sosial masyarakat. Begitulah sedikit yang bisa saya kutip dari Modul Kaderisasi yang tentunya menjadi harapan Bersama para Kopri.

Maka KOPRI dalam melakukan advokasi di masyarakat ini, yakni membimbing bagaimana KOPRI mengajak kader dan masyarakat untuk menjadi cerdas dalam menghadapi kehidupan, mengajak mereka mengetahui, mengerti dan memahami hak-hak mereka di negeri ini.

Women’s and Beauty Standard Problems; Perempuan dalam Belenggu Konstruk Sosial

Perempuan seringkali disandingkan dengan berbagai macam sudut pandang dan konstruk yang timpang. Dari ujung kepala hingga kaki selalu ada hal yang bisa dijadikan bahan pembicaraan, baik sisi positif hingga negatif. Menjadi perempuan tidaklah mudah, punya segudang tanggungjawab yang menempel bersamaan stigma yang kerap kali diterima. Kenyataan bahwa perempuan harus berdiam diri di rumah, menuruti apa kata laki-laki di dalam relasi keluarganya, bahkan ada batasan dalam menikmati akses di segala hal yang sebenarnya sah-sah saja baik laki maupun perempuan turut merasakannya.

 Sejak dahulu kala, dengan adanya konsep gender membuat pihak perempuan yang paling banyak dirugikan. Padahal tidak hanya menimpa pada pihak perempuan, pihak laki-lakipun juga. Konsep ini bermula dari keadaan makhluk hidup zaman prasejarah. Bermula pada saat itu mereka memproduksi makanan sendiri untuk bertahan hidup (food producing), lalu bergeser menjadi mencari makan dan berburu (food gathering). Hal ini diperkuat ketika makhluk prasejarah pada saat itu yang awalnya hidup berpindah-pindah tempat (nomaden) menjadi tetap, dan saling membutuhkan untuk tumbuh dan berkembangbiak sehhingga mengharuskan tinggal seatap. Lalu, laki-laki harus mencari makanan keluar sedangkan perempuan berjaga di rumah. Inilah sedikit uraian mengapa konsep gender itu lahir. Padahal, yang harus sama-sama kita ketahui gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi tugas, peran dan tanggungjawab. Bukan hal-hal yang dikonstruk (dibentuk) secara sosial maupun kultural.

Hari ini kita tiba di zaman milenial yang semuanya serba canggih dan instan, atau bisa disebut era globalisasi yang semakin diperkuat oleh adanya revolusi industri 4.0. Mulai dari teknologi informasi, bahkan akses mendapatkan informasi dari berbagai platform media sosial. Hal ini ternyata selain berdampak baik terhadap kemajuan ekonomi, bidang pendidikan bahkan kemajuan teknologi. Hal itu pula dapat menjadi hal yang berdampak buruk untuk seluruh masyarakat Indonesia khususnya, apalagi ditambah dengan adanya budaya asing yang ikut masuk dan bersaing.

Perempuanlah yang sedari dulu telah mendapat banyak ketimpangan dan korban dari globalisasi. Rentetan isu-isu sosial yang ada, dari mulai diskriminasi terhadap suku, agama, ras dan antargolongan  (SARA) hingga ke warna kulitpun ikut diperhitungkan. Sebab edukasi ramah gender yang masih perlu dilanggengkan, perlu banyak dorongan pihak untuk ikut saling mengedukasi dan mengimplementasikan.

Banyak sekali macam-macam belenggu konstruk sosial yang perempuan terima, dari mulai warna kulit, bentuk tubuh, cara berpakaian, cara bersikap, cara berjalan, cara berbicara hingga banyak sekali standar-standar yang menurut mayoritas kultur harus dipahami dan dilaksanakan. Jika tidak, bisa-bisa perempuan menerima sanksi sosial di setiap daerah yang ia pijaki. Kita bisa sebut itu semua dengan Standar Kecantikan. Memang benar adanya bahwa standar kecantikan tidak luput dari peranan sosial dan kultural yang melekat. Dilansir dari IDN times mengenai potret kisah standar kecantikan di beberapa negara seperti :

1.      Mauritania, Big is Beautiful. Perempuan di Mauritania berlomba-lomba untuk menggemukkan badan mereka, mengonsumsi 15.000 kalori per hari dan akan mengkonsumsi pil penambah berat badan jika target berat badan yang diharapkan tidak tercapai. Karena standar kecantikan disana memang dikonstruk seperti itu, selain melambangkan bahwa akan cepat dipinang oleh laki-laki tetapi itu juga menjadi bukti bahwa tubuh gemuk menjadi lambang kemakmuran dan lambang gengsi yang tinggi.

2.      Jepang, trend Yaeba (gigi gingsul dan runcing) menjadi standar kecantikan yang mungkin masih digandrungi. Sebab dianggap menjadi perempuan yang lebih imut daripada usia seharusnya.

3.      Thailand dan Myanmar, para perempuan di suku ini memanjangkan lehernya dengan menggunakan ring kuningan di leher yang jumlahnya akan ditambah dari waktu ke waktu. Dengan banyaknya ring kuningan, maka bahu mereka akan terdorong ke bawah sehingga leher terlihat panjang. Standar kecantikan ini tidak hanya dianut oleh Suku Karen di Thailand, tapi juga Suku Kayan di Myanmar.

4.      Indonesia, di pedalaman Kalimantan tempat Suku Dayak bermukim, cara seorang perempuan menjadi cantik adalah dengan memiliki telinga panjang yang menjuntai hingga ke leher. Para perempuan di suku ini akan menggunakan anting logam atau emas di telinganya dan jumlahnya akan terus bertambah setiap tahun.

Itu adalah sekian dari banyaknya contoh yang ada di dunia. Namun hari ini, kita dihadapkan oleh persoalan bahwa standar kecantikan perempuan ialah yang bertubuh langsing, ramping, tinggi, kurus, dan berkulit putih. Perempuan yang memiliki kriteria tersebut dianggap lebih layak dan dihormati oleh sebagian besar kalangan. Padahal, cara pandang seperti itulah yang harusnya tidak dilakukan oleh manusia. "Cara pandang yang membeda-bedakan status gender (jenis kelamin), ras, suku, agama dan bangsa bukanlah cara pandang Tuhan melainkan cara pandang manusia." -KH Husein Muhammad. 

      Peran media sosial sangatlah memberi atensi yang tinggi dan dampak yang signifikan terhadap persoalan standar kecantikan. Sebab masih marak sekali iklan-iklan yang terpasang dan ditampilka dengan model yang dianggap lebih dapat menarik atensi lebih kepada publik. Seperti model yang cantik karena kulit putih, tinggi, kurus, tidak berjerawat, mulus dan lain-lain. Sehingga bermunculan obsesi-obsesi baru yang membuat banyak pihak untuk memanfaatkan lahan tersebut ke dalam ladang bisnis baru, seperti make up dan skin care yang semakin gencar mayoritas digandrungi para kaum perempuan muda. Karena klaim yang meyakinkan dapat mengubah paras yang memenuhi standar kecantikan saat ini. Kaum laki-lakipun dan bahkan orang tua (keluarga) sangat bisa jadi mendukung penuh untuk kaum perempuan baik anaknya untuk menjalani serangkaian aktivitas perawatan kecantikan, yang sangat bisa jadi pula hal itu tidak dikehendakinya.

      Ada yang bilang bahwa “beauty is pain”. Bahkan banyak pula yang mengiyakan, banyak sekali contoh yang bisa dijadikan bukti. Baik dari munculnya produk kecantikan dan klinik kecantikan dengan klaim bisa memutihkan kulit, operasi bagian wajah (tanam benang, botoks, filler, sulam alis, dll), suntik lemak agar cepat kurus, berjualan produk slim & diet bahkan veneer gigi. Seolah inilah sebuah sistem yang dibangun dan diciptakan karena adanya ladang bisnis. Bukan karena kebutuhan. Ditakutkan dengan cara seperti ini tidak akan menjadi kebaikan jangka panjang, namun pendek rasa aman. So, tidak ada salahnya merawat tubuh asal dilakukan dengan rasa sukarela, tulus dan murni tanpa paksaan sehingga kita memang paham dan mengetahui apa yang menjadi konsekuensi logis setelahnya.

      Kita memang berada pada dunia yang penuh dengan kemajuan, boleh saja kita menerimanya namun kita tidak boleh tergiring dan terbawa arus dalam kemajuan tersebut. Bijaklah terhadap apa yang menjadi konsekuensi setelahnya. Sehingga, tak ada lagi yang perlu melanggengkan standar kecantikan sesungguhnya. Sebab itu tidak benar-benar ada, itu hanyalah opini yang dilanggengkan oleh sebagian besar orang dan diamini bersamaan. Ingat, kita cantik atas hati, kecerdasan dan sikap kemanusiaan kita. Bukan hanya karena paras kita.


**Tulisan ini ialah tulisan yang belum dapat dimenangkan saat perlombaan. Tapi tulisan ini ku persembahkan kepada para perempuan dan pembaca sekalian.

🙏🙏🙏🙏

Urgensi Kesetaraan Gender Dalam Tujuan Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)


**Ini adalah sebuah tulisan yang saya kirim untuk lomba essai nasional, namun belum dapat dimenangkan. oleh karena itu, saya berkeinginan untuk menyebarluaskannya disini. 



    Sustainable Development Goals atau yang biasa dikenal dan disingkat dengan SDGs. Rupanya itu telah menjadi tagline selama 5 tahun terakhir sejak berlaku pada tahun 2016. Dilansir dari website resminya, Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TBP) merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. 

    SDGs ialah kelanjutan dan penyempurnaan dari MDGs (Millennium Development Goals) yang pada awalnya hanya melibatkan Negara berkembang ataupun beberapa sektor saja. Namun SDGs/TBP justru mengikutsertakan seluruh elemen negara, baik negara maju ataupun negara berkembang serta melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) seperti pemerintah dan parlemen, filantropi dan pelaku usaha, pakar dan akademisi, serta organisasi kemasyarakatan dan media. Hal ini semakin diperkuat adanya dengan tujuan serta sarana pelaksanaan (means of implementation).

    SDGs/TBP merupakan suatu komitmen global yang dihadiri oleh 193 negara dalam mengesahkan dan mendeklarasikannya, Indonesia termasuk diantaranya. Tentu dengan adanya peralihan dari MDGs ke SDGs merupakan wujud dari ekspansi komitmen setiap Negara demi mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. 

    Sebagaimana yang masih banyak belum kita kita ketahui bahwa SDGs/TBP memiliki tujuan secara umum yaitu pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun bila tujuan secara khusus yaitu :

(1) Tanpa Kemiskinan; 

(2) Tanpa Kelaparan; 

(3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; 

(4) Pendidikan Berkualitas;

(5) Kesetaraan Gender;

(6) Air Bersih dan Sanitasi Layak;

(7) Energi Bersih dan Terjangkau;

(8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi;

(9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur;

(10) Berkurangnya Kesenjangan;

(11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan;

(12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab;

(13) Penanganan Perubahan Iklim;

(14) Ekosistem Lautan;

(15) Ekosistem Daratan;

(16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh;

(17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.


    Dengan adanya 17 tujuan tersebut dan dikembangkan melalui 169 target capaian yang diharapkan mampu diwujudkan demi menyongsong kehidupan Indonesia khususnya menuju makmur dan sejahtera dalam berbagai sektor maupun bidang. Ingatlah bahwa harapan ialah keniscayaan. Keniscayaan tersebut harus berubah dari individu menuju kolektif (bersama).

    Mengacu kepada tujuan SDGs/TBP poin 5 yaitu Kesetaraan Gender, tentu membuat publik menaruh kepercayaan yang semakin kuat terhadap segala pemangku kekuasaan (stakeholder). Karena SDGs/TBP merupakan penyempurnaan dari MDGs, yang tentunya memiliki beberapa faktor penambahan dari sebelumnya seperti :

  1. SDGs menekankan pada hak asasi manusia agar diskriminasi tidak terjadi dalam penanggulangan kemiskinan dalam segala dimensinya.

  2. Inklusif, secara spesifik menyasar kepada kelompok rentan (No one left behind, seperti pada prinsipnya).

  3. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder): pemerintah dan parlemen, filantropi dan pelaku usaha, pakar dan akademisi, serta organisasi kemasyarakatan dan media.

    Diupayakan dengan adanya pelibatan banyak unsur maupun elemen stakeholder akan semakin mewujudkan Indonesia yang Setara, Adil dan Saling di berbagai sektor.

    Hal ini semakin diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TBP/SDGs) sebagai wujud komitmen politik pemerintah untuk melaksanakan SDGs. Perpres tersebut juga merupakan komitmen agar pelaksanaan dan pencapaian SDGs dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pihak. 

    Melihat poin ke 5 dalam tujuan SDGs/TBP merupakan hal yang harusnya tidak tabu lagi. Hal ini sekaligus mendorong masyarakat sipil untuk terus menerus saling mengedukasi perihal kesetaraan gender. Saat inipun perempuan dan anak-anak masuk ke dalam deretan Kelompok Rentan. Menurut UU Republik Indonesia, kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil, dan orang dengan disabilitas. 

    Bila mengacu kepada rentetan kasus-kasus kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak dari tahun ke tahun sangat mengenaskan, apabila hal ini terus dibiarkan terjadi dan tidak masuk ke dalam tujuan SDGs/TBP maka bisa disebut bahwa negara tersebut tidak menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dan penghapusan diskriminasi rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination).

    Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan yang terangkum,

  1. Catahu 2020 mencatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2019 yang besarannya naik 6% dari tahun sebelumnya (406.178 kasus).

  2. Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Diagram di atas masih merupakan fenomena gunung es, yang dapat diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.

  3. Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020 akibat masa pandemi.

    Dari sekian banyaknya kasus yang muncul ke permukaan publik membuat masyarakat terutama perempuan dan anak menjadi kekhawatiran yang berkepanjangan. Maka daripadanya, inilah sebuah urgensi dari konsep kesetaraan gender yang harus sama-sama diperhatikan, diwujudkan dan dijadikan sumber solusi,  bukan permasalahan yang baru. Dengan tujuan SDGs/TBP poin 5, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Memiliki uraian  target sebagai berikut :

  1. Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak perempuan dimana saja.

  2. Mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan pada ruang publik dan privat, termasuk perdagangan (trafficking) dan seksual dan bentuk eksploitasi lainnya.

  3. Menghapukan segalasemua praktek-praktek yang membahayakan, seperti perkawinan anak, dini dan paksa dan sunat pada perempuan.

  4. Menyadari dan menghargai pelayanandan kerja domestik yang tidak dibayar melalui penyediaan pelayanan publik, kebijakan perlindungan infrastruktur dan sosial serta mendorong adanya tanggung jawab bersama didalam rumah tangga dan keluarga yang pantas secara nasional.

  5. Memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi dan public.

  6. Memastikan adanya akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi dan hak reproduksi sebagaimana telah disepakati dalam Program Aksi Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan dan Aksi Platform Beijing dan dokumen hasil dari konferensi review keduanya.

  7. Melakukan reformasi untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi dan juga akses terhadap kepemilikan dan kontrol terhadap tanah dan bentuk property lainnya pelayanan finansial, warisan dan sumber daya alam, sesuai dengan hukum nasional.

  8. Memperbanyak penggunaan teknologi terapan, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, untuk mendukung pemberdayaan perempuan.

  9. Mengadopsi dan menguatkan kebijakan yang jelas dan penegakkan perundang-undangan untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan pada semua level.

Perihal tujuan pembangunan yang berkelanjutan bukanlah semata persoalan yang kecil dan mudah untuk seluruh pihak. Namun, jika hal ini digerakan secara bersama-sama akan benar-benar menjadi komitmen global bukan hanya komitmen politik semata. Belum lagi Indonesia akan atau sedang menghadapi Bonus Demografi dimana potensi pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat perubahan struktur umur penduduk, dimana proporsi usia kerja (15-65 tahun) lebih besar daripada proporsi bukan usia kerja (0-14 tahun dan >65 tahun.

    Hal ini bisa menjadi dua belah mata pisau, di satu sisi positif apabila rentang usia anak muda lebih produktif dan edukatif akan siap menjawab segala tantangan di masa yang akan mendatang, seperti target SDGs/TBP pada tahun 2030 dan Indonesia Emas 2045. Namun bisa jadi pula menjadi sisi negatif, apabila rentang usia anak muda tersebut tidak dirawat dengan upaya-upaya produktif dan wadah bagi skill mereka. Tentunya hal tersebut harus selaras dengan program-program yang dijanjikan pemerintah, agar tetap terjaganya keseimbangan dan perwujudan SDM yang unggul.

    Inilah mengapa tujuan SDGs/TBP poin 5 sangat urgen untuk dibahas dan tiada habis untuk dikupas serta tidak lupa diwujudkan. Perihal kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, keseimbangan maupun peningkatan ekonomi bukanlah ruang untuk salah satu pihak saja. Namun keduanya, baik laki-laki dan perempuan berhak berada di posisi yang sama, setara, dan adil tanpa membedakan apapun yang melekat pada dirinya. 

Menuju SDM Unggul, Indonesia Maju.

PMII dan KOPRI Terdepan dalam Kemajuan.




Daftar Pustaka

https://www.sdg2030indonesia.org/

https://www.klobility.id/post/mengenal-5-pengertian-kelompok-rentan-di-indonesia#:~:text=Kelompok%20rentan%20adalah%20orang%20lanjut,hamil%2C%20dan%20orang%20dengan%20Disabilitas.

https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021

Memaknai Peristiwa Hari Pendidikan Nasional

Nelson Mandela (Mantan Presiden Afrika Selatan 1994 - 1999) pernah berkata bahwa Pendidikan ialah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia.
Lain hal dengan Paulo Freire (Tokoh Pendidikan Brasil) dalam bukunya yang berjudul "Pendidikan Kaum Tertindas" bahwa Pendidikan mengubah manusia dan manusialah yang mengubah dunia.
Kedua statement tersebut tak terlalu terlihat adanya sebuah kontradiksi, namun sekali lagi Paulo menegasakan bahwa
Pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mampu menghantarkan manusia menemukan dirinya sendiri untuk kemudian secara kritis menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif.

    Secara garis besar kita bisa simpulkan bahwa Pendidikan sama-sama berperan penting untuk manusia dan kehidupannya. hal ini akan berdampak kecil dan besar sekalipun karena pendidikan tak hanya menyoal duduk dan belajar serta mendengarkan apa yang bersumber dari guru. itu juga berlaku kepada lingkungan dan sekitar kita. pendidikan sama-sama mengubah manusia, dan manusialah yang berperan lebih untuk mengubah dunia.

    Dengan sadar, sebagian besar manusia mengetahui dan menyadari bahwa pendidikan sangatlah penting. selain pendidikan yang selama ini disimbolkan dengan belajar eksakta maupun non eksakta dalam kelas, atau menggali potensi serta kemampuan, minat bakat dll. tetapi pendidikan juga menyoal pola pikir (mindset) serta sikap kemanusiaan kita. bagaimana pendidikan dapat memberi dampak yang baik di sekitar kita. ini tentang kontribusi konkret dan komitmen bersama yang telah digagas sejak lama dalam Pembukaan UUD  1945.

    Dalam alinea ke 4 terdapat tujuan kemerdekaan Indonesia pada poin nomor 3 yaitu, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. ini menjadi indikator pentingnya Pendidikann bagi seluruh elemen dan lapisan masyarakat Indonesia, maka dari itu lahirlah wajib dikdas yang awalnya 9 tahun menjadi 12 tahun. Namun, 12 tahun bukanlah akhir dari perjuangan dan muara dari keberhasilan dalam menimba ilmu. belum lagi mewujudkan wacana Indonesia pada 2030 dan menyongsong Indonesia Emas 2045, yang tentunya harus disokong penuh oleh kesadaran masyarakat bahwa pentingnya pendidikan bagi seluruh manusia. Tentu, 12 tahun bukanlah angka sebagai penentu utama melainkan kita harus terus meningkatkan kapasitas diri kita.

    Pendidikan selain dapat menggali banyak kemampuan maupun keilmuan, namun pendidikan tak kalah penting jika di dalamnya ikut menghumanisasi. dalam artian ialah memanusiakan manusia lewat jalur pendidikan. contohnya ialah Paulo Freire, baginya humanisasi melalui pendidikan ialah sebuah politik pembebasan manusia dengan cara membongkar kesadaran manusia itu sendiri. dimana manusia harus mengetahui bahwa dunia dan realitas hidup ini bukanlah "sesuatu yang terjadi dengan sendirinya" dan begitu saja harus diterima apa adanya sebagai sesuatu takdir atau suatu hal yang tidak boleh dikritisi sama sekali. Seperti kata Bu Musdah Mulia bahwa segala sesuatu itu bukanlah Status Quo. Maka dari itu pendidikan berperan penting menjadi alat perjuangan untuk rakyat demi maslahat.

    Hakikatnya, pendidikan ialah proses pembangkitan kesadaran naif menuju kesadaran kritis kolektif. bukan segelintir orang, baik buruh, tani, maupun rakyat miskin kota.

    Semoga besar harapan saya terhadap momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional ini mampu melahirkan gagasan dan formula yang mampu mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk merasakan kebermanfaatannya.






Penerangan Jalan: Bukti Keseriusan Pejabat Publik Dalam Mencegah Terjadinya Kekerasan Seksual di Setiap Daerahnya

Seringkali menemukan jalan yang minim bahkan enggan penerangan jalan merupakan fenomena yang tidak jarang lagi dijumpai. Sah-sah saja rasa...